Jaringan TV nasional paling diuntungkan dengan datangnya era siaran televisi digital.
Ilustrasi siaran televisi tv (VIVAnews/Muhammad Firman)
Jaringan siaran televisi yang ideal adalah siaran TV lokal lebih dulu, baru kemudian disusul jaringan TV nasional. Namun, kenyataannya, di Indonesia, justru kehadiran jaringan penyiaran televisi nasional yang lebih dulu muncul.
"Itulah obyektifitas di negeri ini, televisi nasional yang sepuluh itu yang lebih dulu ada, baru menyusul televisi lokal. Jadi terbalik-balik," kata Bambang Soebijantoro, praktisi penyiaran yang juga mantan Dirjen SKDI, di ajang Diskusi Ilmiah Penyiaran Menuju Era Digital di FISIP Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 23 Februari 2012.
Bambang menyebutkan, guna menyongsong era jaringan siaran digital, sebaiknya televisi nasional yang harus menyesuaikan dan mengubah diri ke televisi lokal. Sebagai gambaran, kata Bambang, saat ini sudah tercatat tidak kurang dari 400 pemohon izin penyelenggaraan televisi.
Sementara itu, yang disibukkan dengan menjelang datangnya era itu, atau yang paling diuntungkan adalah jaringan televisi nasional. Untuk itu, menurut Bambang, 10 jaringan televisi nasional itulah yang harus mengubah diri.
Meski demikian, lanjut Bambang, perubahan dari jaringan TV nasional menjadi TV lokal tentu tidak bisa dilakukan dengan begitu saja oleh televisi nasional. Mereka, misalnya, harus mengubah dan memecah sistem perusahaan yang sudah ada, termasuk mengurus izin dan tatanan baru. Hal tersebut biayanya besar.
Digitalisasi, lanjutnya, dapat menumbuhkan TV lokal. "Tetapi, yang harus diingat, bisnis TV merupakan bisnis yang mahal. Jika tidak dikelola secara profesional, jangan harap bisa memiliki kualitas seperti TV nasional."
Dari sisi regulasi, Bambang menyebutkan, sebenarnya aturan yang sudah ada saat ini tidak simpang siur. Apalagi kini telah dinyatakan bahwa Lembaga Penyiaran adalah lembaga independen.
Terkait lembaga pengatur penyiaran, Sabam Leo Batubara, seorang pengamat media menyebutkan bahwa ke depan, jangan sampai terjadi benturan dalam hubungan antar lembaga penyiaran.
"Saran saya, ke depan perlu dipertimbangkan, siapa lembaga pengatur penyiaran. Dan, usul saya itu perlu dipertimbangkan, baik menyangkut lembaga penyiaran milik pemerintah atau swasta," kata Sabam. “Semua, harus diajak duduk bersama membahas untuk merumuskan kembali aturan yang akan menjadi UU Penyiaran,” ucapnya.
Terkait peran KPI, Sabam menyarankan, mereka yang duduk di lembaga itu tidak perlu powerfull seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, keberadaan KPI juga seharusnya cukup ada di Jakarta, tidak perlu di berbagai daerah seperti saat ini dan juga tidak berwenang membuat regulasi.
“KPI itu cukup hanya mengawasi. Untuk membuat aturan, undang semua yang perkepentingan membicarakannya. Kemudian, untuk yang melanggar sebaiknya dikenakan denda, untuk memberikan perasaan malu dan efek jera,” kata Sabam. "Serahkan saja lagi ke wakil rakyat, untuk dilakukan diskusi dengan yang berwenang. Dan, KPI yang mengawasi," tegasnya.• VIVAnews